Desain Kemasan Tradisional Dalam Konteks Kekinian
Desain Kemasan Tradisional Dalam Konteks Kekinian
PENDAHULUAN
Indonesia
terdiri dari keragaman suku bangsa sehingga memiliki keragaman budaya. Budaya
tersebut mencakup sistem teknologi tradisional, adat istiadat, dan sebagainya.
Di antara keragaman itu, salah satu hasil budaya yang menarik adalah keragaman
jenis makanan tradisional, keterkaitan erat yang ada di dalamnya antara lain
teknologi pengolahan bahan dalam proses pembuatan kemasan maupun proses memasak
makanan tradisional. Seluruh suku di Indonesia memiliki kekhasan dalam jenis,
teknologi, dan kemasan makanan tradisional. Keberadaan makanan tradisional itu
pada umumnya tidak terlepas dari adat istiadat suatu masyarakat tertentu.
Sehingga Desain Kemasan Tradisional Dalam Konteks Kekinian makanan tradisional dapat menjadi cerminan
budaya suatu masyarakat.
Budaya kemasan
sebenarnya telah dimulai sejak manusia mengenal sistem penyimpanan bahan
makanan. Sistem penyimpanan bahan makanan secara tradisional diawali dengan
memasukkan bahan makanan ke dalam suatu wadah yang ditemuinya. Pada awalnya
kemasan masih terkesan seadanya dan
lebih berfungsi untuk
melindungi makanan/barang
terhadap pengaruh cuaca atau proses alam lainnya yang dapat merusaknya. Selain
itu, kemasan juga berfungsi sebagai wadah agar barang mudah dibawa selama dalam
perjalanan. Seiring dengan
perkembangan jaman yang semakin kompleks,
barulah terjadi penambahan nilai-nilai fungsional
dan peranan kemasan
dalam pemasaran mulai
diakui sebagai satu kekuatan utama dalam persaingan pasar.
Bahan kemasan
alami ditinjau dari segi keberadaannya, masih banyak terdapat di daerah-daerah
di Indonesia dengan harga yang relatif murah, lagi pula tidak memberikan dampak
yang negatif terhadap pencemaran lingkungan (ramah lingkungan), malah
sebaliknya bahan kemasan ini dapat terurai oleh bakteri secara alamiah. Akan
tetapi bilamana tidak segera ditangani, maka limbah bahan kemas alami ini dapat
pula memberikan dampak negatif yaitu menimbulkan pencemaran, aroma yang
dihasilkan dari proses penguraian tersebut dapat menghasilkan bau yang tidak
sedap.
Berbagai
kemasan tradisional yang masih banyak digunakan antara lain bambu, kayu,
dedaunan dan sebagainya. Penggunaan daun sebagai bahan kemasan tradisional
sudah lazim dipakai di seluruh masyarakat Indonesia, selain murah dan praktis
cara pemakaiannya, daun ini juga masih mudah didapat, akan tetapi kemasan daun
ini bukan merupakan kemasan yang bersifat representatif, sehingga pada saat
penanganannya harus ekstra hati-hati.
Seiring dengan
perkembangan teknologi dan gaya hidup, kemasan tradisional makanan alami
tersebut mulai ditinggalkan masyarakat karena dinilai menjadi kemasan yang
terkesan murahan dan diidentikan dengan kumuh, tidak higienis, tidak praktis.
Kemudian perlahan berganti dengan pembungkus/wadah buatan manusia yang kini
biasa kita gunakan seperti kertas, plastik, kaleng dan Styrofoam. Selama ini,
wadah dan pembungkus makanan buatan yang modern itu memang menciptakan kesan
modern, praktis, simple dan bersih. Namun material seperti ini sulit didaur
ulang, hingga rentan mencemari lingkungan. Fungsi kantung plastik sebetulnya hanya
untuk membawa produk dari pasar ke rumah. Setibanya di rumah, yang dinikmati
adalah isinya, sementara plastik masuk ke keranjang sampah. Jadi tanpa
disadari, sebetulnya makanan yang dibungkus aluminium kemudian dilapisi lagi
dengan plastik (misal: kemasan snack, coklat, dll), telah menciptakan limbah
yang berlapis-lapis.
Pada era
sekarang, isu-isu tentang lingkungan mulai marak disuarakan. Salah satunya
masalah sampah yang menjadi perhatian banyak orang termasuk pemerintah. Sampah
anorganik khususnya, yang butuh puluhan tahun bahkan ratusan tahun untuk dapat
didegradasi oleh lingkungan menjadi masalah kompleks. Dalam satu sisi,
penggunaan bahan pengemas yang umumnya anorganik tidak dapat dilepaskan karena
konsumen menghendaki kepraktisan yang bisa didapatkan dengan penggunaan
pengemas anorganik tersebut. Sementara penggunaan pengemas anorganik maka
limbahnya akan mencemari lingkungan. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis
mengangkat tema kemasan tradisional sebagai kemasan yang berpotensi untuk dikembangkan
dan dipasarkan secara luas dengan sentuhan kebaruan atas berbagai
inovasi-inovasi kreatif sebagai solusi untuk mempertahankan keberadaannya agar
makin lebih dihargai, memiliki nilai jual yang tinggi serta ramah lingkungan.
MAKANAN TRADISIONAL
Kegiatan makan
seringkali dianggap sebagai kegiatan pemenuhan kebutuhan dasar semata. Padahal
dari sudut kajian antropologi budaya, kegiatan makan merupakan suatu bagian
dari tujuh unsur kebudayaan. Setiap kebudayaan memiliki kekhasan tersendiri
dalam kegiatan makan, mulai dari menyiapkan bahan makanan, proses memasak,
mengemas, hingga proses memakannya.
Makanan
tradisional adalah makanan yang telah membudaya di kalangan masyarakat
Indonesia, serta telah ada sejak nenek moyang suku nusantara. Menurut Winarno
(1993), makanan tradisional adalah makanan yang pekat dengan tradisi setempat.
Pangan tradisional sebagai makanan yang dikonsumsi oleh golongaan etnik dan
wilayah spesifik, diolah berdasarkan resep yang secara turun temurun. Bahan
yang digunakan berasal dari daerah setempat dan makanan yang dihasilkan juga
sesuai dengan selera masyarakat. Makanan tradisional merupakan makanan yang
memiliki ciri khas yang tidak ditemukan di wilayah lain.
Fenomena Usaha
Kecil dan Mikro (UKM) yang banyak mengundang pendapat dan perhatian pemerintah
karena peran UKM sebagai tulang punggung ekonomi dari Negara-negara berkembang
seperti Indonesia. Sumbangan untuk sektor ini merupakan lahan kerja dan sumber
penghasilan bagi mayoritas penduduknya. Menurut Federasi Pengemasan Indonesia
pada Indonesian Packaging Directory 2004- 2005 menyatakan bahwa angka statistik
yang diterbitkan oleh kementerian Koperasi dan UKM (2002) menunjukkan sekitar
41 juta unit UKM yang mempekerjakan sekitar 68 juta tenaga kerja dan menyumbang
40% dari Produk Domestik Kotor (GDP) (Indonesian Packaging Directory 2004-2005;
20). Yang menarik sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada Tahun 1997,
keberadaan UKM ini akan semakin signifikan dan cukup berperan dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan sektor korporasi.
Keanekaragaman
jenis makanan tradisional merupakan bagian dari kekayaan bangsa Indonesia.
Namun, keberadaannya terancam pangan modern produksi massal industri besar.
Pangan tradisional semakin tertekan globalisasi perdagangan dunia, termasuk
rencana ASEAN Economic Community (AEC) pada 2015. Produk yang banyak diusahakan
usaha mikro kecil dan menengah ini masih minim sentuhan inovasi. Banyak kemasan
radisional terkesan asal-asalan, sehingga kurang menarik
minat konsumen.
Gambar 1. Contoh Kemasan yang masih minim sentuhan inovasi
Di Yogyakarta
maupun di daerah lain seperti Bandung masih banyak sekali produk makanan khas yang
tidak dikemas secara spesifik menunjukkan kekhasan kota masing-masing, seperti:
Bakpia Pathuk masih tetap dikemas dengan menggunakan kotak kardus, yang
sebenarnya tidak jauh beda dengan Molen Bandung yang juga dikemas dengan
menggunakan kotak kardus. Dalam hal ini belum ada perbedaan yang membedakan
ciri khas kedaerahan antara Bakpia Pathuk dengan Molen Bandung. Tujuan
pengemasan seharusnya tidak hanya untuk faktor keamanan produk maupun sebagai
wadah atau sarana melindungi produk saja, namun produk yang dikemas, misalnya
makanan khas tentunya kemasan tersebut mampu untuk mencirikan suatu daerah
tertentu. Dalam hal ini fungsi kemasan sebagai identitas yang mutlak
diperhatikan. Bagaimanapun kekhasan kemasan tradisional belum mampu
tergantikan. Hal ini terbukti dengan derasnya serangan kemasan modern pada
makanan tertentu, masih banyak yang bertahan menggunakan bahan baku alam
sebagai kemasan hingga sekarang. Misalnya lumpia Semarang, batagor Bandung dan
wingko babat yang kotaknya masih berupa besek. Bahkan ada juga jajanan pasar
yang masih berbalut daun sebagai kemasannya.
KEMASAN
Kemasan
berasal dari kata kemas yang berarti teratur (terbungkus) rapi dan bersih.
Pengertian kemasan lainnya merupakan hasil mengemas atau bungkus pelindung
dagang (niaga). Kemasan adalah wadah atau pembungkus, bagi produk pangan,
kemasan mempunyai peranan penting dalam upaya mempertahankan mutu dan keamanan
pangan serta meningkatkan daya tarik produk. Agar bahan pangan yang akan
dikonsumsi bisa sampai kepada yang membutuhkannya dengan baik dan menarik, maka
diperlukan pengemasan yang tepat. Pengemasan dalam hal ini ditunjukan untuk
melindungi bahan pangan segar maupun bahan pangan olahan dari penyebab
kerusakan, baik fisik, kimia, maupun mekanis.
Pada zaman modern seperti saat ini
desain kemasan yang dipergunakan produsen bahan pangan diklasifikasikan dalam
beberapa kelompok. Menurut Julianti dan Nurminah (2006), Kemasan dapat
diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal atau beberapa cara yaitu sebagai
berikut :
1. Klasifikasi kemasan berdasarkan frekwensi pemakaian
:
a) Kemasan sekali pakai (disposable) , yaitu kemasan yang
langsung dibuang setelah dipakai, seperti kemasan produk instant, permen, dll
b) Kemasan yang dapat dipakai berulangkali (multitrip) dan
biasanya dikembalikan ke produsen, c ontoh : botol minuman, botol kecap, botol
sirup.
c) Kemasan atau wadah yang tidak dibuang atau dikembalikan
oleh konsumen (semi disposable), tapi digunakan untuk kepentingan lain oleh
konsumen, misalnya botol untuk tempat air minum dirumah, kaleng susu untuk
tempat gula, kaleng biskuit untuk tempat kerupuk, wadah jam untuk merica dan
lain-lain.
2. Klasifikasi kemasan berdasarkan struktur sistem kemas
(kontak produk dengan kemasan):
a) Kemasan primer, yaitu kemasan yang langsung bersentuhan
dengan produk yang di bungkusnya. b) Kemasan sekunder, yang tidak bersentuhan
langsung dengan produknya akan tetapi membungkus produk yang telah dikemas
dengan kemasan primer.
c) Kemasar tersier dan kuartener yaitu kemasan untuk
mengemas setelah kemasan primer atau sekunder.
3. Klasifikasi kemasan
berdasarkan sifat kekauan bahan kemasan :
a) Kemasan fleksibel yaitu bahan kemasan yang
mudah dilenturkan tanpa adanya retak atau patah. Misalnya plastik, kertas dan
foil.
b) Kemasan kaku yaitu bahan kemas
yang bersifat keras, kaku, tidak tahan lenturan, patah bila dibengkokkan
relatif lebih tebal dari kemasan fleksibel. Misalnya kayu, gelas dan logam.
c) Kemasan semi kaku/semi fleksibel yaitu
bahan kemas yan memiliki sifat-sifat antara kemasan fleksibel dan kemasan kaku.
Misalnya botol plastik (susu, kecap, saus), dan wadah bahan yang berbentuk
pasta.
4. Klasifikasi kemasan
berdasarkan sifat perlindungan terhadap lingkungan:
a) Kemasan hermetis (tahan uap dan gas) yaitu
kemasan yang secara sempurna tidak dapat dilalui oleh gas, udara atau uap air
sehingga selama masih hermetis wadah ini tidak dapat dilalui oleh bakteri,
kapang, ragi dan debu. Misalnya kaleng, botol gelas yang ditutup secara
hermetis.
b) Kemasan tahan cahaya yaitu
wadah yang tidak bersifat transparan, misalnya kemasan logam, kertas dan foil.
Kemasan ini cocok untuk bahan pangan yang mengandung lemak dan vitamin yang
tinggi, serta makanan hasil fermentasi.
c) Kemasan tahan suhu tinggi,
yaitu kemasan untuk bahan yang memerlukan proses pemanasan, pasteurisasi dan
sterilisasi. Umumnya terbuat dari logam dan gelas.
Berdasarkan klasifikasinya,
secara umum kemasan memiliki peranan sebagai berikut:
1. Mempertahankan bahan dalam
keadaan bersih dan higienis.
2. Mengurangi terbuangnya bahan selama
distribusi.
3. Mempertahankan gizi produk
yang dikemas.
4. Sebagai alat penakar, media
informasi dan sekaligus sebagai sarana promosi.
Peranan ini
dapat diperjelas dengan berperannya suatu kemasan dalam melindungi bahan pangan
dari kerusakan dan penguraian serta dapat mempermudahpengangkutan transportasi
Hermawan Kartajaya, seorang pakar di bidang pemasaran mengatakan bahwa teknologi
telah membuat kemasan menjadi berubah
peran, dahulu orang mengatakan “Packaging protects what it sells” (Kemasan
melindungi apa yang dijual). Pada saat ini, “Packaging sells what it protects”
(Kemasan menjual apa yang dilindungi). Dengan kata lain, kemasan bukan lagi
sebagai pelindung atau wadah tetapi harus dapat menjual produk yang dikemasnya.
Perkembangan peran kemasan tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Sekarang
ini kemasan sudah berperan sebagai media komunikasi.
Kemasan juga
dapat berperan untuk mengkomunikasikan suatu citra tertentu. Semua produk yang
dijual di pasar harus benar-benar direncanakan kemasannya dengan baik. Karena
produk dalam kategori yang sama akan diletakkan pada rak yang sama. Jika
produsen ingin meluncurkan suatu produk baru, salah satu tugas yang penting
adalah membuat kemasannya stands out,
lain daripada yang lain dan unik. Jika tidak memberikan kesan berbeda
dengan produk lain, maka produk baru tersebut akan “tenggelam”. Sebelum mencoba
isinya, konsumen akan menangkap kesan yang dikomunikasikan oleh kemasan. Dengan
demikian kemasan produk baru tersebut harus mampu bersaing dengan kemasan produk-produk lainnya. Dengan melihat
peran kemasan yang sangat penting, maka konsep peran pengemasan harus mencakup
seluruh proses pemasaran dari konsepsi produk sampai ke pemakai akhir.
Secara umum
tujuan desain kemasan adalah: 1. Menampilkan atribut unik sebuah produk untuk
menjadi pembeda dengan produk lain, hal ini sebagia upaya untuk menarik
perhatian. 2. Memperkuat penampilan estetika dan nilai produk. 3.
Mempertahankan keseragaman dalam kesatuan merek produk. 4. Memperkuat perbedaan
antara ragam produk dan lini produk. 5. Mengembangkan bentuk kemasan berbeda sesuai
dengan kategori. 6. Menggunakan material baru dan mengembangkan struktur
inovatif untuk mengurangi biaya, lebih ramah lingkungan, atau meningkatkan
fungsionalitas. (Klimchuk, 2007: 49)
Pada dekade
1970-an ditandai dengan munculnya pasar swalayan, terjadi perubahan cara
menjual produk-produk Indonesia khususnya produk makanan olahan, yaitu peran
kemasan yang mulanya hanya sekedar wadah kemudian menjadi sebuah alat penjual.
Selain itu juga gaya konsumen berpikir dalam hal belanja. Perubahan gaya hidup dan
tekanan persaingan memberikan bobot yang besar akan pentingnya tampilan, daya
tarik dan kualitas dari kemasan. Tuntutan akan desain yang berkualitas tinggi
meningkat, dan juga cara berpromosi yang mengkaitkan antara grafika dan
periklanan. eriklanan. Perilaku konsumen dan pola belanja memiliki dampak yang
sangat signifikan pada konsumsi terhadap makanan dan pembelian barang. Pada
produk makanan, aspek kesehatan merupakan hal yang penting, pada produk non
makanan hal yang terpenting adalah penjelasan mengenai fungsi dan spesifikasi.
Perubahan sosial menimbulkan pemintaan akan berbagai macam jenis kemasan yang
fleksibel dan berlainan (unik). Pengemasan, disamping bertujuan untuk
melindungi makanan tradisional dari kerusakan, juga merupakan daya pikat bagi
orang agar terbujuk dan tertarik untuk membelinya. Keberhasilan daya tarik
kemasan ditentukan oleh estetika yang menjadi bahan pertimbangan sejak awal
perencanaan bentuk kemasan karena pada dasarnya nilai estetika harus terkandung
dalam keserasian antara bentuk dan penataan desain grafis tanpa melupakan kesan
jenis, ciri, dan sifat barang/produk yang diproduksi.
Pada
pertengahan tahun 2007 Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi
(P4MI) melalui kegiatannya dilakukan upaya perbaikan pengemasan makanan siap saji
guna meningkatkan daya pikat dan memenuhi persyaratan. Upaya perbaikan kemasan
dilakukan melalui pendekatan studi orientasi, evaluasi teknologi dan
pengembangan pengemasan. Jalur ini diharapkan mampu mendongkrak keberhasilan
perdagangan makanan tradisional di daerah sentra produksi. Keberhasilan
pemasaran makanan tradisional, disamping ditentukan oleh mutu dan keamanan
makanan tradisional, juga usaha promosi yang harus diiringi dengan upaya dalam
perbaikan tampilan kemasan. Hal ini serupa dengan budaya dasar dalam pemasaran
yang sudah lazim di Inggris pada abad ke 19, “The Product is The Package”,
barang/produk ditentukan oleh kemasannya sendiri. Tidak kalah pentingnya dalam
kemasan bahan makanan tradisional adalah adanya label. Karena label menjadi
media informasi sebagai bahan pertimbangan untuk membeli/mengonsumsi pangan
tersebut. Pada label berisi informasi mengenai gizi, jumlah gizi yang ada dan
komposisi lainnya,mengandung penyebab alergi, masa kadaluwarsa, cara menyimpan,
cara memasak, dan informasi penting lainnya yang dapat digunakan sebagai
pedoman kita dalam membeli suatu produk.
KEMASAN TRADISIONAL
Yang dimaksud
dengan kemasan tradisional adalah kemasan yang terbuat dari bahan alami umumnya
digunakan untuk makanan tradisional, dan biasa digunakan sejak di pasar
tradisional dengan menggunakan bahan-bahan alam. Penggunaan bahan-bahan alam
pada perkemasan tradisional, memiliki unsur- unsur khusus yang tidak terdapat
pada unsur perkemasan modern yang menggunakan bahan-bahan buatan. Menurut
Harundiah (1976) Unsur-unsur tersebut meliputi:
1. Penampilan
2. Aroma
3. Konstruksi
4. Hubungan dengan alam atau
siklus alamiah
Penampilan pada kemasan
tradisional terlihat lebih alami mulai dari warna, tekstur, dan bentuknya.
Aroma dari kemasan tradisional memberikan cita rasa dan bau yang khas yang
ditimbulkan dari sifat alamiah bahan alam yang dapat mempengaruhi produk di
dalamnya.
Konstruksi kemasan tradisional
yang menggunakan bahan-bahan alam mempunyai kekuatan dan elastisitas
tersendiri, yang tidak dapat dijumpai di bahan-bahan buatan pada kemasan
modern.
Pada teknologi kemasan secara
umum ada tuntutan kebutuhan, baik kebutuhan produsen maupun konsumen seperti
yang dituliskan pada Indonesian Packaging Directory 2004-2005:
1. Material global dan tren
pengemasan
2. Pasar mikro kemasan sesuai
pesanan dan isi dengan karakter
3. Lingkungan pintar (RFID :
Radio Frequency Identification and Swa Diagnostic. Yaitu semacam diagnose
informasi keberadaan kualitas produk)
4. Lingkar pakai ulang dan
lingkar nilai tambah
5. Etika baru ekoefektif dan
penyederhanaan yang baru
6. Fleksimus untuk bepergian dan
sekali pakai (kepentingan konsumen)
7. Pasar kelas atas dan
bawah/murah (kepentingan produsen)
Banyak sekali produsen produk
makanan dan non makanan di Indonesia khususnya UKM belum mempertimbangkan
aspek-aspek tersebut diatas.
Kemasan
tradisional antara lain berupa: Daun-daunan (seperti daun pisang, daun jagung,
daun kelapa/enau (aren), daun jambu air dan daun jati). Ada juga kemasan dari
anyaman bambu dan rotan dalam bentuk silindris maupun kotak seperti besek,
keranjang buah dan sebagainya. Selain itu ada juga kemasan dari kulit atau
kelobot jagung, yang juga memiliki keunikan tersendiri. Namun
semakin hari,
kemasan-kemasan tersebut semakin jarang dijumpai. Kedudukan besek mulai
tergantikan oleh kotak kardus, plastik dan styrofoam. Dahulu bahan baku alam
mudah ditemukan, jadi banyak yang membuat kemasan menggunakan bahan dari alam.
Hal ini berlangsung terus- menerus hingga tahun 60-an. Pada era orde baru,
lahir industri sintetis. Keberadaan bungkus tradisional perlahan-lahan mulai
digantikan oleh kehadiran plastik, kresek, sampai Styrofoam. Hal tersebut
merupakan alasan kenapa kemasan tradisional mulai jarang digunakan. Antara
lain, karena selera dan perilaku masyarakat mulai berpihak pada kemasan instan
yang lebih praktis dan tahan lama. Selebihnya karena faktor biaya, keterbatasan
bahan baku dan mulai berkurangnya tenaga kerja yang terlatih untuk membungkus
kemasan tradisional terutama besek.
Di
daerah-daerah tertentu yang ada di Indonesia, terdapat banyak jajanan khas
daerah setempat yang dibungkus dengan kemasan plastik, kertas, dll. Sebagai
contoh misalnya wingko babat, bakpia pathuk, enting-enting, getuk, krupuk
karak, rengginang, brem, kripik balado, dll. Hal ini sebenarnya tidak ada
kesalahan pada “desain” terhadap kemasan jajanan tradisional ini. Namun seiring
dengan tuntutan zaman dan komoditas pasar, kolaborasi desainer dan UKM setempat
diharapkan mampu memberikan nilai tambah, agar dapat mewujudkan peningkatan
usaha kecil dan menengah, peningkatan ekspor, pembentukan hubungan industri,
dan peningkatan industri khas daerah untuk disalurkan ke pasar dunia. Selama
ini, kemasan
tradisional
masih dikerjakan oleh UKM atau industri
kecil dan menengah. Pembuatan kemasan hanya berdasarkan pada desain yang
turun-temurun dan seadanya, sehingga dampaknya terhadap produk makanan
tradisional jadi terlihat kampungan dan lemah dalam menyampaikan komunikasi dan
informasi melalui desain. Jika rata-rata jajanan tersebut hanya dimasukkan ke
dalam plastik lalu diberi cap atau dimasukkan ke dalam boks lalu diberi label
kecil, kadang hanya berupa label yang di foto kopi. Hal ini menunjukkan
kurangnya informasi tentang desain di kalangan pengrajin/UKM, menjadikan
beberapa kemasan jajanan tradisional terlihat kampungan dan lemah dalam
persaingan, baik lokal apalagi internasional.
Tren kemasan
tradisional kini terus menjamur. Melihat fenomena ini, beberapa pengusaha
makanan tradisional memanfaatkannya untuk menarik perhatian dan mendongkrak
penjualan produknya. Kemasan tradisional dengan motif khas kedaerahan
sebenarnya sudah lama dimanfaatkan, hanya seiring perkembangan jaman sempat
meredup, namun mulai tahun 2007 kembali naik daun.
Gambar 2. Contoh kemasan
tradisional yang mencirikan daerah tertentu.
Selama ini
kemasan modern dengan beragam material sudah banyak beredar, sedangkan untuk
mengembalikan image makanan tradisional, perajin mulai kembali mencari bahan -
bahan tradisional untuk mengemasnya. Kemasan tradisional pada umumnya
menggunakan material bahan langsung dari alam seperti daun, bambu, kayu, rotan,
serat dan sebagainya. Namun dalam hal ini kemasan tradisional juga dapat
disiasati dengan menggunakan bahan kertas. Bahan kertas merupakan alternatif
pilihan terbaik terhadap ramah lingkungan dan dapat didaur ulang. Tidak menutup
kemungkinan kertas juga dapat digunakan untuk menyerupai tampilan dengan yang
berbahan alam, yaitu dengan membuat struktur serta motifnya yang menyerupai
motif alam seperti bentuk anyaman bambu, bentuk serat kayu, serat kulit jagung
dan sebagainya. Dengan tampilan desain kemasan yang menarik, akan mempengaruhi
naiknya nilai jual. Hal ini tentunya mampu mendongkrak penjualan produknya.
Penjualan produk dengan kemasan bermotif tradisional inipun cukup tinggi meski
sedikit lebih mahal dibanding kemasan konvensional. Namun demikian justru hal
ini menjadi pilihan utama bagi pengusaha oleh-oleh dalam hal pengemasan karena
ditinjau dari sisi keunikannya
Gambar 3. Contoh kemasan tradisional yang mencirikan daerah
tertentu.
Kemasan
tradisional yang baik memiliki desain yang unik, modis dan trendi tanpa
mengabaikan tujuan fungsional kemasan. Dalam hal ini menunjukkan peran para
desainer yang utama, yaitu kreativitas dalam mendesain ulang kemasan-kemasan
tradisional dengan tanpa mengabaikan identitas lokal dan jati dirinya yang unik
dan mampu mewakili budaya lokal. Dengan demikian ketertarikan konsumen akan
membeli makanan tradisional bukan hanya karena isinya, tapi juga karena daya
tarik kemasannya yang unik. Desain yang selalu inovatif dapat memunculkan
keinginan pembeli untuk mengoleksinya.
KESIMPULAN
Seiring dengan
perkembangan teknologi dan gaya hidup, kemasan tradisional untuk makanan alami
kini mulai ditinggalkan masyarakat karena dinilai menjadi kemasan yang terkesan
murahan dan diidentikan dengan kumuh, tidak higienis, tidak praktis. Kemudian
perlahan berganti dengan pembungkus/wadah buatan manusia yang kini biasa kita
gunakan seperti kertas, plastik, kaleng dan Styrofoam. Selama ini, wadah dan
pembungkus modern memang menciptakan kesan modern, praktis, simple dan bersih.
Namun permasalahannya, material seperti ini sulit didaur ulang, menimbulkan
limbah yang berlapis-lapis, sehingga rentan mencemari lingkungan.
Seiring dengan
munculnya berbagai permasalahan yang terjadi, maka perlu adanya solusi untuk
mempertahankan dan menciptakan kemasan tradisional yang lebih layak digunakan,
yaitu kemasan tradisional yang tetap menggunakan bahan alami namun tidak tampil
apa adanya. Kemasan tradisional harus tampil unik dan memiliki kekuatan dalam
menampilkan identitas kedaerahannya sebagai penghasil makanan tradisional
tersebut.
Keberhasilan
pemasaran makanan tradisional, disamping ditentukan oleh mutu dan keamanan makanan
tradisional, juga usaha promosi yang harus dibarengi dengan upaya dalam
perbaikan tampilan kemasan yang fleksibel dan berlainan (unik) agar memiliki
daya tarik tersendiri. Keberhasilan daya tarik kemasan ditentukan oleh estetika
yang menjadi bahan pertimbangan sejak awal perencanaan bentuk kemasan karena
pada dasarnya nilai estetika harus terkandung dalam keserasian antara bentuk
dan penataan desain grafis tanpa melupakan kesan jenis, ciri, dan sifat
barang/produk yang diproduksi. Sehingga untuk makanan khas tentunya kemasan
tersebut mampu untuk mencirikan suatu daerah tertentu. Perlu adanya kolaborasi
antara desainer dan UKM, pentingnya kerjasama tersebut diharapkan mampu
memberikan nilai tambah agar dapat mewujudkan peningkatan usaha kecil dan menengah,
peningkatan ekspor, pembentukan hubungan industri, dan peningkatan industri
khas daerah untuk disalurkan ke pasar dunia.
Kemasan
tradisional selain menggunakan material alam, bahan kertaspun merupakan
alternatif terbaik terhadap ramah lingkungan dan dapat didaur ulang. Tidak
menutup kemungkinan kertas juga dapat digunakan untuk menampilan kesan alami,
yaitu dengan membuat struktur serta motifnya yang menyerupai motif alam seperti
bentuk anyaman bambu, bentuk serat kayu, serat kulit jagung dan sebagainya.
Bagaimanapun
juga kekhasan kemasan tradisional belum mampu tergantikan. Kemasan tradisional
cenderung memiliki banyak kelebihan. Kemasan tradisional perlu memperhatikan
beberapa aspek yang disesuaikan dengan kondisi saat ini. Sebagai desainer,
sudah sepatutnya kita mengambil tanggung-jawab untuk mempertahankan keberadaan
kemasan tradisional, bahkan memperjuangkannya untuk lebih eksis dan makin
dihargai, sehingga kemasan tradisional sebagai bungkus makanan tradisional yang
dari sisi estetis menarik dan fungsional, tidak lagi dianggap sebagai kemasan
yang terkesan murahan, kumuh, dan selalu menghadirkan bentuk yang selalu sama
dari masa ke masa. Peran desainer adalah menciptakan kemasan tradisional dalam
konteks kekinian, yaitu lebih dinamis ditinjau dari beberapa aspek dalam
kondisi saat ini, antara lain dari sisi desain yang lebih inovatif sehingga
memiliki keunikan dan nilai jual tinggi mengingat semakin banyaknya produk yang
ada di pasaran. Adanya sentuhan desain yang unik akan mampu membuat kemasan tradisional
menjadi sebuah kemasan yang eksklusif. Kemasan tradisional juga diciptakan
supaya mampu mempertahankan ciri khas kebudayaan setempat tanpa mengabaikan
identitas lokal untuk mewakili budaya lokal. Pertimbangan yang lebih penting
juga perlu memperhatikan dari sisi ramah lingkungan, mengingat kini masalah
sampah mulai marak disuarakan, jadi kemasan tradisional harus mudah untuk
didaur ulang.
Komentar
Posting Komentar